Mengenal Badai Sitokin pada Penderita COVID-19


Badai Sitokin yang merusak paru (Foto: Youtube)

Pengantar : 

Deddy Corbuzier, mentalis- terpapar  badai sitokin COVID-19. Hampir dua minggu Deddy non aktif dari Poadcast-nya. Badai yang merusak paru ini dapat mengakibatkan penderitanya meninggal dunia.

Apakah itu badai sitokin? Bagaimana gejalanya?

Simak tulisan ini yang bersumber alodokter.com dan ditinjau dr Sienni Agustin. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.

----------------

Oleh : Reko Suroko

----------------

BADAI yang satu ini tidak merusak alam, melainkan merambah paru manusia, mengakibatkan kerusakan paru, bagai diterjang badai. 

Badai ini merupakan salah satu komplikasi yang bisa dialami oleh penderita COVID-19. Kondisi ini perlu diwaspadai dan perlu segera ditangani secara intensif. Bila dibiarkan tanpa penanganan, badai sitokin dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ hingga kematian.

Sitokin merupakan salah satu protein yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Dalam kondisi normal, sitokin membantu sistem imun berkoordinasi dengan baik dalam melawan bakteri atau virus penyebab infeksi.

Seputar Badai Sitokin

Badai sitokin (cytokine storm) terjadi ketika tubuh melepaskan terlalu banyak sitokin ke dalam darah dalam jangka waktu yang sangat cepat. Kondisi ini membuat sel imun justru menyerang jaringan dan sel tubuh yang sehat, sehingga menyebabkan peradangan.

Kondisi ini diketahui dengan pemeriksaan D-dimer dan CRP pada penderita COVID-19. Tak jarang peradangan tersebut membuat organ-organ di dalam tubuh menjadi rusak atau gagal berfungsi. Hal inilah yang membuat badai sitokin perlu diwaspadai, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Pada penderita COVID-19, badai sitokin menyerang jaringan paru-paru dan pembuluh darah. Alveoli atau kantung udara kecil di paru-paru akan dipenuhi oleh cairan. Sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran oksigen. Itulah sebabnya mengapa penderita COVID-19 kerap mengalami sesak napas.

Badai Sitokin butuh penangan khusus (foto: CNN Indonesia)

Gejala Badai Sitokin pada Penderita COVID-19

Sebagian besar penderita COVID-19 yang mengalami badai sitokin, mengalami demam dan sesak napas hingga membutuhkan alat batu napas atau ventilator. Kondisi ini biasanya terjadi sekitar 6–7 hari setelah gejala COVID-19 muncul.

Selain demam dan sesak napas, badai sitokin juga menyebabkan berbagai gejala, seperti:

Kedinginan atau menggigil

Kelelahan

Pembengkakan di tungkai

Mual dan muntah

Nyeri otot dan persendian

Sakit kepala

Ruam kulit

Batuk

Napas cepat

Kejang

Sulit mengendalikan gerakan

Kebingungan dan halusinasi

Tekanan darah sangat rendah

Penggumpalan darah

Penanganan Badai Sitokin

Penderita COVID-19 yang mengalami badai sitokin memerlukan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). 

Beberapa langkah penanganan yang akan dilakukan dokter, meliputi:

Pemantauan tanda-tanda vital, yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh, secara intensif

Pemasangan mesin ventilator

Pemberian cairan melalui infus

Pemantauan kadar elektrolit

Cuci darah (hemodialisis)

Pemberian obat anakinra atau tocilizumab (actemra) untuk menghambat aktivitas sitokin

Meski demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penanganan yang tepat terhadap penderita COVID-19 yang mengalami badai sitokin.

Pada penderita COVID-19, badai sitokin dapat menyebabkan kerusakan organ yang bisa mengancam nyawa. Agar terhindar dari kondisi serius ini, Anda disarankan untuk selalu mematuhi protokol kesehatan kapan saja dan di mana saja.

Bila Anda atau anggota keluarga mengalami gejala COVID-19, seperti batuk, demam, pilek, lemas, sesak napas, anosmia, atau gangguan pencernaan, segera lakukan isolasi mandiri dan hubungi hotline COVID-19 di 119 Ext. 9 untuk mendapatkan pengarahan lebih lanjut

Badai Sitokin sang perusak paru (foto: Girdhealth.id)

Pemeriksaan D-dimer dan CRP pada Pasien COVID-19

Pemeriksaan D-dimer dan CRP dilakukan untuk mendeteksi infeksi dan masalah pembekuan darah yang kerap dialami oleh pasien COVID-19. Dengan begitu, dokter dapat segera melakukan langkah penanganan sejak dini untuk mencegah perburukan kondisi.

Infeksi virus Corona dapat memengaruhi berbagai sel dan jaringan tubuh, termasuk darah. Nah, pemeriksaan D-dimer dan CRP pada pasien COVID-19 dilakukan untuk mengetahui peningkatan kadar protein dalam darah.

Pemeriksaan D-dimer

Pemeriksaan D-dimer dilakukan untuk mendeteksi keberadaan protein D-dimer dalam darah. Protein ini berfungsi untuk memecah darah yang membeku di pembuluh darah.

Dalam kondisi normal, D-dimer tidak akan terdeteksi. Apabila terdeteksi, itu berarti ada bekuan darah di dalam tubuh, meski tidak diketahui lokasinya secara spesifik. Jumlah D-dimer yang biasa dijadikan patokan untuk mendeteksi adanya bekuan darah adalah 500 nanogram per mililiter darah atau lebih.

Pada penderita COVID-19, jumlah protein D-dimer dapat meningkat secara signifikan. Hal ini diduga disebabkan oleh badai sitokin yang memicu ketidakseimbangan antara pembentukan dan pemecahan bekuan darah.

Semakin tinggi jumlah D-dimer dalam darah, semakin besar pula risiko pasien COVID-19 mengalami pengentalan atau penggumpalan darah. Kondisi ini bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti trombosis vena dalam, emboli paru, atau stroke.

Pemeriksaan CRP

Jika pemeriksaan D-dimer dilakukan untuk mendeteksi protein D-dimer, pemeriksaan CRP ditujukan untuk mengetahui kadar protein CRP (C-Reactive Protein) dalam darah. Tes ini dilakukan untuk mendeteksi peradangan pada tubuh atau mengetahui tingkat keparahan kondisi kronis tertentu.

Dalam kondisi normal, jumlah protein CRP dalam darah adalah kurang dari 10 miligram per liter darah. Namun, pada penderita COVID-19, jumlah CRP bisa meningkat melebihi batas normal, bahkan mencapai 86%.

Kadar CRP akan naik dengan cepat 6–8 jam setelah gejala pertama muncul dan akan mencapai puncaknya dalam waktu 48 jam. Kadar CRP akan turun jika peradangan selesai dan pasien dinyatakan sembuh.

Sama seperti kenaikan D-dimer, peningkatan CRP dalam darah penderita COVID-19 juga diduga disebabkan oleh badai sitokin. Selain itu, peningkatan protein CRP juga dipercaya berkaitan dengan kerusakan jaringan tubuh.

Meningkatnya kadar protein CRP pada pasien COVID-19 bisa menyebabkan penurunan saturasi oksigen, trombosis vena dalam dan emboli paru, cedera ginjal akut, hingga kematian.

Bila Anda dinyatakan positif COVID-19, mengalami gejala sedang atau berat, dan sedang menjalani isolasi mandiri, baik di rumah maupun pusat isolasi, ada baiknya jika Anda melakukan pemeriksaan D-dimer dan CRP secara rutin dengan dokter untuk mendeteksi infeksi atau bekuan darah sejak dini.

Anda juga dapat berkonsultasi dengan dokter melalui aplikasi chat ALODOKTER guna mendapatkan informasi seputar pemeriksaan dan penanganan COVID-19 yang dapat Anda lakukan.

-------

Kamus

------

Emboli paru adalah penyumbatan pada pembuluh darah di paru-paru. Penyumbatan biasanya disebabkan oleh gumpalan darah yang awalnya terbentuk di bagian tubuh lain, terutama kaki.

Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak berkurang akibat penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik). Tanpa darah, otak tidak akan mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi, sehingga sel-sel pada area otak yang terdampak akan segera mati.

CRP adalah protein yang diproduksi oleh organ hati sebagai respons terhadap peradangan di tubuh.

Ventilator adalah mesin yang berfungsi untuk menunjang atau membantu pernapasan.

Izin penggunaan darurat atau emergency use of authorization (EUA) obat Actemra untuk COVID-19 telah disetujui sejak Juni 2021. Meski demikian, penting untuk dipahami bahwa tidak semua pasien COVID-19 perlu mendapatkan obat Actemra.

Anosmia pada COVID-19 ditandai dengan hilangnya kemampuan indra penciuman. Gejala ini umumnya muncul sekitar 2–14 hari setelah tubuh terpapar virus Corona. ***


Komentar

Postingan Populer