Dua Keresahan

Makanan ini terlalu mewah bagi rakyat. (Foto Louis Hanzel/Unsplash)

 

SAAT ini  sedang tumbuh dua keresahan di tengah-tengah rakyat,  yakni resah takut mati karena Covid-19 dan resah takut mati karena lapar. Itu ungkapan bijak dari Menko Polhukam, Mahfud MD, saat Menko Polhukam menggelar rapat terbatas.

Benar, masyarakat bawah tengah bersemi satu dilema yang  berujung mati. Jika dilema itu tak berujung, pasti rakyat akan pilih  berjuang untuk mati melawan lapar. Artinya, rakyat akan memilih  mati melawan lapar, dengan berbagai cara. 

Mereka adalah bangsa Indonesia yang berjuang melawan lapar, bukan melawan yang lain. 

Jika Sengkuni, tokoh pewayangan, memiliki pilihan mengkanibalkan saudara-saudaranya serta kedua orang tuanya untuk dijadikan santapan. Agar dia memiliki kesempatan untuk menjaga adik perempuannya, Gandari. 

Gandari dipaksa menikah dengan Raja Dretarasta. Mestinya, Gandari dipersunting Pandu, adik Dretarasta. Karena sudah terjadi, maka Sengkuni mengikuti Gandari. 

Apakah rakyat dibiarkan ‘menyantap’ apapun, agar mereka terhindar dari rasa lapar. Rasa kenyang rakyat sebagian telah direnggut oleh para koruptor, termasuk jatah mereka Bantuan Sosial (Bansos). 

Apakah akan sirna pula ketika rakyat berjuang sekedar mengakali rasa laparnya, mungkin dengan singkong rebus atau apapun  asal kenyang.

Butuh Berapa Juta Dosis Vaksin Kita

Vaksin Gratis?

Rasanya jika boleh memilih antara vaksin dan menolak, pasti banyak rakyat yang menghindar dari vaksin. Rakyat sudah terbiasa sakit. Tapi, rakyat memiliki rasa tenggang rasa yang kuat, tanpa dimobilisasi pun rakyat siap divaksin.

Di benak rakyat dengan divaksin berarti ikut berjuang melawan virus Covid-19. Mereka  Ikut mengamankan negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi dari  serangan senjata biologis ini. Sayangnya, rasa bangga itu tiba-tiba sirna, ketika ada kabar vaksin yang dinyatakan gratis itu, ternyata akan diperdagangkan. 

Rakyat nyaris tak percaya jika ada pejabat yang bertindak culas. Vaksin yang bisa diakses gratis, malah rakyat disuruh bayar. IItu tindakan yang tidak etis.

WHO Kritik Vaksin Berbayar 

World Health Organization (WHO) mengkritik keras kebijakan Indonesia berrencanakan memperdagangkan vaksin covid-19 kepada masyarakat. Vaksin berbayar itu akan tersedia di beberapa klinik Kimia Farma. Namun, pada Senin (12/7/2021) lalu, manajemen menunda pelaksanaannya karena perlu menyosialisasikan lebih lanjut. 

Kepala Unit Program Imunisasi WHO, Dr Ann Lindstrand mengatakan, setiap warga negara harus memiliki akses yang setara untuk vaksin Covid-19. WHO bekerja sama dengan Covax Facility bakal memberikan jatah vaksin secara cuma-cuma kepada negara yang membutuhkan. 

Jika masalah anggaran jadi pemicu adanya vaksin gotong royong individu, Indonesia bisa mengakses fasilitas ini.

"Mereka memiliki vaksin yang gratis, hingga 20 persen dari populasi yang didanai oleh para penyandang dana kerjasama COVAX, yang membuatnya sama sekali tidak mungkin untuk mengambil pembayaran dalam perjalanannya," kata Ann, seperti yang ditulis di  situs resmi WHO.

Terkait biaya pengiriman dan biaya lain-lain yang membebani, seperti biaya transportasi, logistik, hingga tempat penyimpanan vaksin, Indonesia bisa mengakses pendanaan dari berbagai lembaga internasional.

 "Jadi dananya jangan terlalu banyak. Yang penting di sini adalah bahwa setiap orang memiliki hak dan harus memiliki hak akses ke vaksin ini terlepas dari masalah keuangan," tandas Ann.

Kritik dari WHO mestinya membuka mata hati para pemangku kepentingan di Indonesia. Bukan malah menyulap vaksin gratis menjadi berbayar. Sungguh memalukan dan memilukan. ***

Catatan : Reko Suroko




Komentar

Postingan Populer